B.
Teori–Teori
Belajar
Secara
pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan
prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta
dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Dan untuk lebih memahami
dan mengenal masalah belajar, maka akan di uraikan beberapa teori belajar yang
telah dikemukakan oleh para ahli Psikologi. (Haryu Islamuddin, Psikologi Pendidikan, Jember: STAIN
Jember Press, 2011, hlm 59-60)
1. Teori
Belajar Psikologi Behavioristik.
Teori
belajar Psikologi Behavioristik yang dikemukakan oleh para tokoh Psikologi
Behavioristik, sering disebut dengan “Contemporary
behaviorists” atau biasa juga
disebut “S-R psychologists”.
Mereka
berpendapat bahwa, tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) dan penguatan (reinforcement) dari lingkungan.
Dengan
demikian, dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara
reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya. Jadi dapat kita simpulkan, bahwa
teori Behavioristik menekankan pada terbentuknya tingkah laku yang nampak
sebagai hasil dari proses belajar.(Haryu Islamuddin, Psikologi Pendidikan, Jember: STAIN Jember Press, 2011, hlm 61).
7
a. Teori-Teori
yang Mengawali Perkembangan Psikologi Behavioristik
Psikologi
aliran behavioristik mulai mengalami perkembangan dengan lahirnya teori-teori
tentang belajar yang dipelopori oleh Thorndike, Paviov, Wabon, dan Ghuthrie.
Mereka masing-masing telah mengadakan penelitian yang menghasilkan
penemuan-penemuan yang berharga mengenai hal belajar.
Pada
mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat di dominasi oleh pengaruh
dari Thomdike (1874-1949). Teori belajar Thorndike disebut “Connectionism”, karena belajar merupakan
proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Teori ini
sering pula disebut “Trial-and error
learning”. Individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses “trial-and-error learning” dalam rangka
memilih respons yang tepat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan
teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku berbagai binatang
antara lain: kucing, tingkah laku anak-anak, dan orang dewasa. Jadi, Thorndike
berkesimpulan bahwa belajar adalah
terjadinya hubungan antara stimulus dan
respons.
Objek
penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan
objek melakukan respons terhadap situasi itu. Dalam hal itu, objek mencoba
berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.
Ciri-ciri belajar dengan “Trial-and-error
learning” yaitu: ada motif pendorong aktivitas, ada berbagai respon
terhadap situasi, ada eliminasi respon-respon yang gagal/salah, dan ada
kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.
Dari
penelitiannya ittu, Thorndike menemukan hukum-hukum:
1) “Law
of readiness” (Hukum Kesiapan). Jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh
kesiapan untuk bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memuaskan.
2) “Law
of exercise” (Hukum Latihan). Makin banyak dipraktekkan atau digunakannya
hubungan stimulus respon, makin kuat hubungan itu. Praktek perlu disertai
dengan reward.
3) “Law
of effect” (Hukum Akibat). Hubungan antara stimulus dan respon diperkuat
apabila akibatnya memuaskan dan akan melemah apabila akibatnya tidak memuaskan.
Sementara
Thorndike mengadakan penelitiannya, di Rusia Ivan Pavlov (1849-1936)
8
juga
menghasilkan teori belajar yang disebut
“classical conditioning” atau
“stimulus substitution”. Teori Pavlov
berkembang dari percobaan laboratoris terhadap anjing. Dalam peercobaan ini,
anjing diberi stimuli bersyarat sehingga
terjadi reaksi bersyarat pada anjing.
John
B. Watson (1878-1958) adalah orang pertama di Amerika serikat yang
mengembangkan terori belajar berdasarkan penelitian Pavlov. Watson berpendapat
bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau respons-respons
bersyarat melalui stimulus pengganti.
Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi
emosional berupa takut, cinta, dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk
oleh hubungan-hubungan stimulus-respons baru melalui “conditioning”. Salah satu percobaannya adalah terhadap anak umur 11
bulan dengan seekor tikus putih. Rasa takut dapat timbul tanpa dipelajari
dengan proses ekstinksi, dengan mengulang stimuli bersyarat tanpa dibarengi
stimuli tak bersyarat.
E.
R. Guthrie (1886-1959) memperluas penemuan Watson tentang belajar. Ia
mengemukakan prinsip belajar yang disebut “the
law of association” yang berbunyi: Suatu kombinasi stimuli yang telah
menyertai suatu gerakan, cenderung akan menimbulkan gerakan itu, apabila kombinasi
stimuli itu muncul kembali. Dengan kata lain, jika Anda mengerjakan sesuatu
dalam situasi tertentu, maka nantinya dalam situasi yang sama Anda akan
mengerjakan hal serupa lagi. Menurut Guthrie, belajar memerlukan reward dan
kkedekatan antara stimulus dan respon. Guthrie berpendapat bahwa hukuman itu
tidak baik dan tidak pula buruk.
b. Skinner’s Operant Conditioning.
Seperti halnya Thorndike, Skinner
menganggap “reward” sebagai faktor
terpenting dalam proses belajar, Skinner berpendapat, bahwa tujuan psikologi
adalah meramal dan mengontrol tingkah laku. (Drs. Wasty Soemanto, M.Pd., Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin
Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2006, hlm 123-125)
Skinner membagi dua jenis reson
dalam proses belajar yaitu:
1) Respondents
Respons, yaitu: tingkah laku yang terjadi karena stimulus yang jelas atau
respon yang terjadi oleh perangsang-perangsang tertentu.
2) Operant
Response, yaitu: tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus yang belum
9
diketahui, dan
semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri dan belum tentu dikehendaki
oleh stimulus dari luar. (Haryu Islamuddin, Psikologi
Pendidikan, Jember: STAIN Jember Press, 2011, hlm 80)
2. Teori
Belajar Psikologi Kognitif.
Ada
beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan-penemuan para ahli
sebelumnya mengenai belajar sebagai proses hubungan stimulus-response-reward.
Mereka berpendapat, bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh
reward. Mereka ini adalah para ahli jiwa aliran kognitifis. Menurut pendapat
mereka, tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu
tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Dalam situasi belajar, seseorang
terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Jadi, kaum kognitifis berpandangan
bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi.
a. Awal
Pertumbuhan Teori-Teori Belajar Psikologi Kognitif.
Psikologi
kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar Gestalt. Peletak dasar
psikologi Gestalt adalah Mex Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang
pengamatan dan problem solving (pemecahan masalah). Sumbangannya ini diikuti
oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang
hukum-hukum pengamatan; kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti
tentang insight pada simpanse.
Penelitian-penelitian mereka menumbuhkan psikologi Gestalt yang menekankan
bahasan pada masalah konfigurasi, struktur dan pemetaan dalam pengalaman. Kaum
Gestaltis berpendapat, bahwa pengalaman itu
berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Orang yang belajar, mengamati stimuli dalam
keseluruhan yang terorganisasi, bukan dalam bagian-bagian yang terpisah.
Suatu
konsep yang penting dalam psikologi
Gestalt adalah tentang “Insight”,
yaitu pengamatan/pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian
di dalam suatu situasi permasalahan. Insight
itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan “aha” atau “oh, see-now”.
Kohler
(1927) menemukan tumbuhnya insight
pada seekor simpanse dengan
10
menghadapkan
simpanse pada masalah bagaimana memperoleh pisang yang terletak di luar
kurungan atau tergantung di atas kurungan. Dalam eksperimen itu Kohler mengamati, bahwa kadang kala
simpanse dapat memecahkan masalah secara mendadak, kadang kala gagal meraih
pisang, kadang kala duduk merenungkan masalah, dan kemudian secara tiba-tiba
menemukan pemecahan masalah.
Wertheimer
(1945) menjadi orang Gestaltis yang
mula-mula menghubungkan pekerjaannya dengan proses belajar di kelas. Dari
pengamatannya itu, ia menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah dan
menghendaki agar murid belajar dengan pengertian, bukan hafalan akademis.
Menurut pandangan Gestaltis, semua
kegiatan belajar (baik pada simpanse maupun pada manusia) menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-hubungan,
terutama hubungan-hubungan antara bagian dan keseluruhan. Menurut Psiklogi Gestalt, tingkat kejelasan atau
keberartian dari apa yang di amati dalam situasi belajar seseorang lebih
berperan dari pada dengan hukuman dan ganjaran.
b. Teori
Belajar Cognitive-Field dari Lewin
Bertolak dari penemuan Gestalt Psychology, Kurt Lewin (1892-1947)
mengembangkan suatu teori belajar cognitive-field dengan menaruh perhatian
kepada kepribadian dan psikologi sosial.
Lewin memandang masing-masing individu berada
di dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan
psikologis di mana individu bereaksi, misalnya: orang-orang yang ia jumpai,
objek materiil yang ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki.
Lewin berpendapat, bahwa tingkah laku merupakan
hasil interaksi antara kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam diri individu
maupun dari luar diri individu.
Menurut Lewin, belajar berlangsung
sebagai akibat dari perubahan struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif
itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur medan kognisi itu
sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal individu. Lewin
memberikan peranan yang lebih penting terhadap motivasi dari pada reward.
11
c. Teori
Belajar Cognitive Developmental dari Piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa
proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret
menuju abstrak.
Piaget adalah seorang Psikolog
Developmental kaena penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta
peubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Dia adalah salah
seorang psikolog suatu teori Komperhensif tentang perkembangan intelegensi atau
proses berpikir. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan
kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan struktur
yang memungkinkan individu mengalami penyesuaian diri dengan lingkungan maka
Piaget tekanan penyelidikannya lain. Piaget menyelidiki masalah yang sama dari
segi penyesuaian/adaptasi manusia serta
meneliti perkembangan intelektual atau kognisi berdasarkan dalil bahwa struktur
intelektual terbentuk di dalam individu
akibat interaksi dengan lingkungannya.
d. Jerome
Bruner dengan Discovely Learning-nya
Yang menjadikan dasar ide J. Bruner
ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara
aktif dalam belajar di dalam kelas. Untuk itu Bruner memakai cara dengan apa
yang disebutnya Discovery Learning, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan
yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Prosedur ini berbeda dengan reception learning atau expository teaching, dimana guru
menerangkan semua informasi dan murid harus mempelajari semua bahan/informasi
itu.
3. Teori-Teori
Belajar dari Psikologi Humanistik
a. Orientasi:
Perhatian
psikologi humanistik yang terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap
individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka
hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik
aliran humanistik penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan
perasaan dan perhatian siswa.
Tujuan
utama para pendidik ialah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya,
12
yaitu
membantu masing-masing individu untukk mengenal diri mereka sendiri sebagai
manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada
pada diri mereka.
b. Awal
Timbulnya Psikologi Humanistik.
Pada
akhir tahun 1940-an muncullah suatu perspektif psikologi baru. Orang-orang yang
terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam perkembangan ini, misalnya ahli-ahli psikologi klinik,
pekerja-pekerja sosial dan konseler, bukan merupakan hasil penelitian dalam
bidang proses belajar. Gerakan ini berkembang, dan kemudian dikenal sebagai
psikologi humanistik, eksestensial, perceptual, atau fenomenologikal. Psikologi
ini berusaha untuk memahami perilaku seseorang dari sudut pelaku, bukan dari
pengamat.
Dalam
dunia pendidikan, aliran humanistik muncul pada tahun 1960 sampai dengan 1970-an dan mungkin perubahan-perubahan dan
inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terakhir pada abad 20 ini pun juga
akan menuju pada arah ini.
c. Behaviorisme
Versus Humanistik.
Dalam
menyoroti masalah perilaku, ahli-ahli psikologi behavioral dan humanistik
mempunyai pandangan yang sangat berbeda, perbedaan ini dikenal sebagai freedom determination issue. Para behaviorest memandang orang orang
sebagai makhluk reaktif yang memberikan responsnya terhadap lingkungannya.
Pengalaman lampau dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Sebaliknya
para humanistik mempunyai pendapat
bahwa tiap orang itu menentukan perilaku mereka sendiri. Mereka bebas dalam
memilih kualitas hidup mereka, tidak terikat oleh lingkungannya.
d. Tokoh-Tokoh
Humanistik.
Ada
beberapa tokoh yang menonjol dalam aliran humanistik seperti: Combs, Maslov dan
Rogers.
1) Combs
Combs
menyatakan apabila kita ingin memahami perilaku orang kita harus mencoba
memahami dunia persepsi orang itu. Apabila kita ingin mengubah perilaku
seseorang, kita harus berusaha mengubah keyakinan ata pandangan orang itu,
perilaku dalamlah yang dapat
13
membedakan seseorang dari yang lain. Combs
selanjutnya mengatakan bahwa perilaku buruk itu sesunguhnya tak lain hanyalah
dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan
kepuasan baginya. Apabila seorang guru mengeluh bahwa siswanya tidak mempunyai
motivasi untuk melakukan sesuatu, ini sesungguhnya berarti, bahwa siswa itu
tidak mempunyai motivasi untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh guru itu.
Apabila guru itu memberikan aktivitas yang lain, mungkin sekali siswa akan
memberikan reaksi yang positif. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian
pada learning, ialah :
1. Pemerolehan
informasi baru,
2. Personalisasi
informasi, ini pada individu.
Combs
berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa
mau belajar apabila subject matter-nya
disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada subject matter itu; dengan kata lain di
individulah yang memberikan arti tadi kepada subject matter itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana caranya
membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari subject matter itu; bagaimana siswa itu
menghubungkan subject matter itu
dengan kehidupannya.
2) Maslov
Teori
ini didasarkan atas asumsi bahwa di dalam diri kita ada dua hal :
1. Suatu
usaha yang positif untuk berkembang,
2. Kekuatan
untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Pada
diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk
berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan
apa yang sudah ia miliki dan sebagainya. Tetapi mendorong untuk maju kearah
keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah
kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima
diri sendiri.
3) Rogers
Menurut
Rogers prinsip-prinsip humanistik antara lain:
1. Manusia
itu mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami.
14
2. Belajar
yang signifikan terjadi apabila subject
matter dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri.
3. Belajar
yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri
diaggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4. Tugas-tugas
belajar yang mengancam diri adalah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan
apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5. Apabila
ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai
cara yag berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
6. Belajar
yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
7. Belajar
diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung
jawab terhadap proses belajar itu.
8. Belajar
atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang
dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
9. Kepercayaan
terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas lebih mudah dicapai terutama
siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengeritik dirinya sendiri dan penilaian
diri orang lain merupakan cara kedua yang penting.
Belajar yang paling
berguna secara sosial didalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses
belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan
penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai proses perubahan itu. (Drs.
Wasty Soemanto, M.Pd., Psikologi
Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2006,
hlm 123-140)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar